My Perfect Toy : Pregnancy - Part 3

“Apa yang kau lakukan, Lucy!!!” 

Lucy tersentak kaget. Tubuhnya menegang seketika saat mendapati Rafa tengah berdiri di hadapannya. Dengan kondisi jas yang basah. Astaga. Karena terlarut dalam lamunan, Lucy sampai tidak menyadari kedatangan Rafa. Bahkan menyiram sang majikan dengan selang air yang tadi ia gunakan untuk menyiram tanaman. 

Berbanding terbalik dengan Lucy, wajah Rafa tampak memerah menahan amarah. Tangannya bergerak mengusap wajahnya yang basah. Pria itu memandang Lucy dengan kesal. 

“Ma-maaf kan saya, Tuan. Maafkan saya...”, Lucy cepat-cepat meminta maaf dengan raut menyesal pada wajahnya. 

Rafa mendengus kesal, lantas dengan segera melangkah masuk ke dalam rumah. Ia menghempaskan tasnya dengan sembarangan ke sofa, dan segera membuka jasnya yang basah akibat siraman Lucy. Sesaat pandangan pria itu tertuju pada jendela tempat Freasha biasa berdiam. Namun gadis itu tidak ada di sana. Rafa menghela napas sejenak, lantas melangkah menuju kamarnya. 

==== 

“Dimana dia?”, tanya Rafa kepada Lucy. Membuat gerakan gadis itu yang tengah menata hidangan makan malam di atas meja terhenti seketika. 

“Nyonya sedang di kamarnya, Tuan” 

“Dia tidak keluar dari sana seharian?” 

“Iya, bahkan sudah berhari-hari Nyonya seperti itu Tuan” 

Rafa mengerutkan keningnya. “Apa yang membuatnya seperti itu?" 

Lucy menggeleng pelan. “Saya juga tidak tahu Tuan”, sahutnya. Sejujurnya Lucy sangat ingin memberitahu Rafa tentang saat dimana Freasha memintanya membelikan alat tes kehamilajn untuk gadis itu. Namun lagi-lagi, kesadaran akan posisinya membuat Lucy memilih bungkam. Dia takut Freasha akan marah padanya. 

“Apakah dia sudah mengetahui kepulanganku?” 

“Sudah Tuan. Saya sudah memberitahunya” 

Rafa mengangguk mengerti. Meski merasakan keganjalan pada hatinya, pria itu memilih untuk tidak bertanya lagi.

====

Freasha duduk termenung di atas kursi roda. Mata gadis itu terpejam. Pikirannya tengah berkecamuk hebat. Rafa pulang. Pria itu sudah kembali. Meski merasa senang, kini ada perasaan takut menyeruk memenuhi hatinya. Tentu saja, tentang kehamilannya. Bagaimana cara Freasha memberitahu Rafa? Apa yang harus ia katakan untuk membuat pria itu percaya? Bagaimana jika akhirnya Rafa tetap tidak percaya dan malah menuduhnya melakukan hal yang tidak-tidak di belakang pria itu? Berbagai pertanyaan itu bertubi-tubi menyerang Freasha hingga membuat kepalanya terasa nyeri. Hingga akhirnya ia memilih mendekam diri di kamar seharian ini.

Namun Freasha sadar, bagaimana pun ia harus memberitahu Rafa. Freasha tidak mungkin menyembunyikan hal ini darinya. Maka dengan satu gerakan Freasha membawa kursi rodanya keluar dari kamar. Freasha harus bertemu dan berbicara dengan Rafa. Terserah bagaimana respon pria itu nanti.

Rafa tengah berdiri di tepian jendela tempat Freasha biasa bersantai. Pria itu tampak membuang pandangan ke luar kaca dengan tangan terlipat di dada. Melihatnya, membuat Freasha kontan menghentikan kursi rodanya. Gadis itu menelan ludah. Ia menarik napas dalam-dalam untuk menentramkan debaran hebat pada jantungnya.

"Kau sudah pulang?", tanya Freasha akhirnya.

Rafa kontan menoleh menatap Freasha. Sejenak ia terpaku menatap wajah cantik itu. Wajah yang sudah seminggu lebih tidak dilihatnya. Wajah yang entah sejak kapan... menimbulkan rindu dalam hatinya.

"Hm", Rafa bergumam singkat saat tersadar dari keterpakuan. Seketika benaknya menggaungkan makian untuk dirinya sendiri. Bagaimana bisa ia membeku saat menatap wajah itu?

"Bagaimana pekerjaanmu? Lancar?", tanya Freasha lagi sembari membawa kursi rodanya semakin dekat pada Rafa.

"Ya", sahut Rafa berusaha sekuat mungkin untuk tidak menatap Freasha.

Freasha menghela napas sesaat. Rafa sama sekali tidak berubah, masih bersikap ketus padanya. Dan itu membuat Freasha kembali merasa ragu untuk memberitahu kehamilannya pada pria itu. Sungguh, ia merasa sangat takut.

Rafa melirik pada Freasha yang tengah menunduk dalam. Gadis itu tampak tengah memikirkan sesuatu. Sejujurnya Rafa ingin bertanya, namun urung karena tidak ingin dianggap mencampuri urusan Freasha. Maka pada akhirnya pria itu memilih untuk pergi.

"Rafa"

Panggilan Freasha membuat langkah Rafa kontan terhenti. Ia memutar tubuhnya demi menatap gadis itu.

"Ada apa?", tanyanya.

"Bisa kita bicara sebentar? Ada hal yang ingin kusampaikan padamu"

Rafa menelusur wajah Freasha yang tampak lelah. Dari rautnya, Rafa dapat mengetahui kalau Freasha tengah memiliki beban berat. Melihat itu, membuat Rafa tanpa sadar melangkah lebih dekat dan berdiri tepat di hadapan Freasha.

"Katakanlah", ucapnya kemudian.

Freasha mencengkeram kedua pegangan kursi rodanya erat-erat. Selain berusaha menentramkan debaran jantungnya, juga agar Rafa tidak menyadari jika sejak tadi jemarinya bergetar.

Gadis itu menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata, "Rafa... aku... hamil"

Comments

Popular posts from this blog

Balada Anak Desa – Part 13

Cerita bersambung: Jangan panggil aku tuan muda part 44

Cerita Dewasa: Dibalik Jilbab Nurjanah dan Aisyah