My Perfect Toy : Hurt - Part 3


Rafa menjatuhkan tubuhnya di atas sofa. Seperti biasa, tempat yang menjadi pilihannya untuk melepas penat adalah salah satu kelab malam terbesar di pusat kota, yang sekaligus menjadi tempat berkumpul ia dan teman-temannya.

“Ada apa lagi denganmu?”, tanya Dany yang kontan menegakkan tubuh saat melihat kedatangan Rafa. “Ekspresi wajahmu kelihatan seperti ingin membunuh seseorang”

Satrio yang duduk di sebelah Dany tertawa mendengar komentar temannya. “Bukankah ekspresi Rafa memang selalu seperti itu? Tak jauh berbeda dengan pembunuh berdarah dingin”, timpalnya dengan wajah tanpa dosa.

Rafa memilih tidak menggubris ocehan kedua temannya. Tangannya bergerak meraih botol wine dan menuangkannya pada gelas kosong di hadapannya. Seperti orang kehausan, Rafa menandaskan isi gelas itu dalam satu tegukan. Nyaris saja Rafa akan menuangkan kembali wine ke dalam gelas ketika tangan Dany bergerak merampas benda itu.

“Terakhir kali kau mabuk, kau merepotkanku. Aku tidak mau itu terjadi untuk yang kedua kalinya”

Rafa menatap Dany dengan jengkel. "Berikan gelasnya padaku Dan”

“Tidak, sebelum kau menceritakan apa yang membuatmu terlihat aneh seperti ini. Aku tahu kau memang senang menghabiskan waktu di tempat ini, tapi aku hapal benar kebiasaanmu. Kau tidak akan minum jika tak ada yang mengganggu pikiranmu”

Rafa menarik napas dan menghembuskannya dengan kesal. Ia membenci saat-saat seperti ini. Dany memang sosok yang paling mengenalnya. Pria itu tak akan berhenti menginterogasi sebelum Rafa memberitahunya, dan itu sungguh menyebalkan.

Rafa menghempaskan tubuhnya pada sandaran sofa. Tangannya terangkat memijit pelipisnya yang terasa berdenyut.

“Rafa?”, sebuah suara tiba-tiba saja terdengar mengagetkan mereka. Kala ketiga pria itu menoleh, tampak seorang wanita cantik mengenakan dress berwarna biru laut berjalan menghampiri mereka dengan wajah ceria.

"Oh my... Babe, kau disini juga? Kemana saja? Kau tahu, aku sangat merindukanmu”, oceh gadis itu seraya berhambur memeluk Rafa.

“Alice, lepaskan”, Rafa berusaha melepaskan dirinya dari lingkaran lengan Alice.

“Kenapa? Kau tidak merindukanku?”, Alice bertanya dengan raut wajah dan nada bicara yang dibuat sesedih mungkin.

Rafa menghela napas jengah dan membuang pandangan. Ia merampas gelas dari tangan Dany dan kembali menuangkan wine ke dalamnya.

“Rafa, mengapa kau tak pernah menghubungiku lagi?”, Alice menggapit lengan Rafa dengan manja.

“Untuk apa dia menghubungimu?”, sela Dany. “Rafa sudah memiliki istri Alice”

Alice mendelik. “Maksudmu wanita cacat itu?”, tanyanya dengan tawa yang tiba-tiba berderai. “Dia bukan istri Rafa. Dan dia tidak pantas menjadi istri Rafa. Dia tidak lebih dari wanita cacat yang bisanya hanya menyusahkan orang seperti parasit. Aku yakin dia pasti bersedia menikah dengan Rafa karena memandang harta”

“Jaga bicaramu Alice”, Dany memperingatkan seraya menatap gadis itu dengan tajam.

“Kenapa? Aku mengatakan hal yang benar bukan? Coba saja kau pikir, bagaimana bisa ada wanita yang bersedia menikah dengan pria yang tidak dikenalnya kalau bukan karena harta? Dasar wanita cacat tidak tahu diri”, cecar Alice. Ia mengibas rambut gelombang miliknya dengan gaya angkuh.

PRANGGG!!!

Pertikaian kedua orang itu mendadak terhenti akibat suara gaduh yang ditimbulkan oleh Rafa. Pria itu membanting gelas yang sejak tadi digenggamnya ke atas lantai. Ia menunduk sejenak, lalu mengangkat wajah dan menatap kedua orang itu dengan tajam.

“Sekali lagi bicara tentang dia, aku akan membuat kalian bernasib sama dengan gelas itu”, ucapnya dingin. Ia meraih dompet dari dalam saku, meletakkan beberapa lembar uang ratusan ribu di atas meja, lantas melangkah pergi meninggalkan mereka.

Baik Dany maupun Alice, keduanya terdiam. Tidak ada yang membuka suara. Mereka hanya mengikuti gerakan Rafa dengan tatapan tak menyangka.

====

Rafa membuka pintu mobilnya dengan kasar. Kalap, ia memukuli setir di hadapannya. Mendengar perdebatan Dany dan Alice tadi mendadak membuat emosi pria itu kembali memuncak. Padahal ia sudah berusaha mati-matian meredamnya.

Freasha. Memikirkan gadis itu membuat kepala Rafa terasa sakit bukan main. Dan membuat hatinya terasa lain. Bukankah seharusnya Rafa merasa senang? Bukankah sejak dulu memang ini yang ia inginkan?

Saat perginya Freasha seharusnya menjadi saat yang tepat bagi Rafa untuk berpesta. Namun sebaliknya, entah mengapa hatinya kini justru merasa terluka...

Comments

Popular posts from this blog

Balada Anak Desa – Part 13

Cerita bersambung: Jangan panggil aku tuan muda part 44

Cerita Dewasa: Dibalik Jilbab Nurjanah dan Aisyah