My Perfect Toy : Hurt - Part 2


Freasha terdiam dan menunduk kemudian. Gadis itu menarik napas dalam-dalam. Pikirannya menimbang-nimbang, apakah sebaiknya ia menceritakan kepada Reza tentang keadaan yang sesungguhnya. Dan akhirnya ia sadar, Reza dan Hima lebih dari sekedar sahabat untuknya. Mereka adalah satu-satunya keluarga yang ia miliki setelah kepergian kedua orangtuanya. Maka pada akhirnya, cerita itu mengalir begitu saja.

Berawal dari kecelakaan yang dialami Freasha, yang membuatnya bertemu dengan seorang wanita paruh baya yang baik hati. Wanita itu bertanggung jawab atas segala pengobatannya. Tetapi sayang, kecelakaan yang dialami mereka membuat wanita itu harus meregang nyawa tepat seminggu kemudian. Dan beberapa hari sebelum kepergiannya meninggalkan dunia, wanita itu memperkenalkan Freasha dengan putranya serta meminta mereka untuk menikah. Tentu saja, dengan alasan ia merasa harus bertanggung jawab atas kecacatan yang dialami oleh Freasha, pasca kecelakaan yang menimpa mereka.

Reza mendengar cerita Freasha dengan seksama. Pria itu merasa kaget luar biasa. Ia tidak pernah mengetahui alasan pernikahan Freasha yang sebenarnya. Ia berpikir, pernikahan Freasha adalah pernikahan yang didasari cinta. Ya, pada saat itu Reza memang tidak mengetahui apa-apa sebab dirinya tengah menimba ilmu di benua Amerika.

“Jadi… apa yang menyebabkanmu memutuskan untuk pergi?”, tanya Reza kemudian. "Apakah dia tidak memperlakukanmu dengan baik?"

Freasha tersenyum getir. Ia menerawang, menatap langit yang saat itu hanya dihiasi beberapa buah bintang. “Rafa… dia sangat membenciku. Dia membenci pernikahan kami. Di mata Rafa, aku adalah pembunuh Ibundanya. Aku adalah bencana untuknya...”

Tanpa dapat dicegah, tangis Freasha keluar dengan derasnya. Dan segala kisah itu kembali mengalir. Freasha menceritakannya secara gamblang kepada Reza, karena ia sadar tak ada yang perlu disembunyikan dari sahabatnya. Sudah saatnya mereka mengetahui kisah hidup Freasha yang sebenarnya. Selama ini Freasha telah berusaha menyembunyikan segalanya dari mereka dan meredam semua kepahitan itu sendiri. Namun kini hatinya sungguh tak tahan lagi. Freasha butuh tempat berbagi. Ia butuh tempat untuk mencurahkan seluruh luka hatinya. Setidaknya, agar beban itu terangkat meski hanya sedikit saja.

“Jadi… dia tidak mau mengakui anak yang ada dalam kandunganmu?”, tanya Reza seusai Freasha menceritakan segalanya.

Gadis itu mengangguk. “Saat itu dia sedang mabuk berat. Dia bahkan tidak mengingat apa yang dia lakukan", sahutnya sembari mengelap matanya yang basah.

“Kurang ajar”, Reza mengepalkan tangannya dengan geram. “Lelaki brengsek. Dia sudah membuatmu menderita. Aku pastikan aku akan memberi pelajaran padanya”

“Tidak Reza. Jangan”, sergah Freasha dengan cepat.

“Kenapa Freasha? Dia sudah membuatmu sakit hati. Memangnya dia pikir dia siapa? Berani-beraninya menyakitimu. Hidup dan mati manusia ada di tangan Tuhan. Dia tidak berhak menyalahkanmu atas kematian Ibunya”

“Aku tahu Reza. Tapi… sudahlah, aku tidak ingin masalah ini menjadi semakin rumit. Jadi ku mohon, jangan lakukan pembalasan apapun padanya. Lagipula—hueek!”, kata-kata Freasha terputus karena mendadak terasa golakan pada perut gadis itu.

Buru-buru Freasha memutar kursi roda dan membawanya ke kamar mandi. Reza yang merasa kaget melihat itu segera menyusul di belakangnya.

“Freasha, kau baik-baik saja?”, tanya pria itu khawatir saat melihat Freasha tengah berusaha mengeluarkan isi perutnya di atas wastafel. Ia memijit pelan tengkuk gadis itu dan mengelus punggungnya dengan lembut.

“Freasha, bagaimana kalau kita ke rumah sakit saja? Atau apa aku perlu memanggilkan dokter untukmu?”, tanyanya lagi sembari menyerahkan gulungan tisu pada sahabatnya itu.

Freasha menggeleng cepat. Ia meraih tisu dari tangan Reza dan mengelap sekujur bibirnya.

“Tidak perlu Za, terimakasih. Aku tidak apa-apa”

“Tidak apa-apa bagaimana? Kau muntah-muntah seperti ini”

“Reza, ini wajar. Bahkan sangat wajar untuk wanita yang sedang mengandung.”

Reza terdiam sesaat. “Begitu, ya”, katanya kemudian. “Ya sudah kalau begitu kau istirahat saja. Ayo kuantar”

Freasha mengangguk. Sekejap kemudian Reza sudah mendorong kursi roda gadis itu dan membawanya menuju kamar khusus untuk tamu. Sesampainya disana, Reza mengangkat tubuh mungil Freasha demi memindahkannya ke atas ranjang, kemudian menarikkan selimut hingga batas bahu gadis itu.

“Selamat tidur, Freasha”, ucap Reza dengan lembut.

Freasha mengulum senyum. “Terima kasih. Selamat tidur juga Reza”, sahutnya kemudian.

Reza mengangguk, lantas beranjak keluar dari kamar tersebut. Freasha mengikuti gerakan pria itu dengan matanya, hingga tubuh tegap pria yang dilihatnya hilang dibalik pintu.

Sepeninggal Reza, senyum di bibir Freasha mendadak lenyap. Pikirannya bertualang jauh pada seseorang. Pria yang membencinya, namun terlanjur ia cintai.

Rafa.

Comments

Popular posts from this blog

Balada Anak Desa – Part 13

Cerita bersambung: Jangan panggil aku tuan muda part 44

Cerita Dewasa: Dibalik Jilbab Nurjanah dan Aisyah