My Perfect Toy : Another Love - Part 3


Satu minggu selama kepergian Freasha dari rumah benar-benar membawa perubahan besar dalam hidup Rafa. Setiap pagi, saat baru saja selesai mandi dan menatap ke arah ranjang, Rafa terpaku. Biasanya, Freasha telah menyiapkan pakaian kerja untuk Rafa disana. Ketika pria itu berada di dapurpun pikirannya langsung melintaskan sosok Freasha yang tengah membantu Lucy menata makanan di atas meja. Atau saat Rafa melewati jendela tempat biasa Freasha berdiam. Untuk kesekian kali Rafa membeku.

Entah sejak kapan hatinya mengharapkan sosok itu benar-benar ada di sana. Duduk diam dengan tatapan lurus keluar jendela. Lalu biasanya ia akan menoleh dan menyapa saat Rafa berjalan melewatinya. Sering kali wajahnya tampak khawatir kala Rafa hendak keluar di malam hari. Oh ya ampun, bagaimana bisa kini Rafa merindukan wajah itu? Bagaimana bisa Rafa berharap dapat mendengar suaranya? Sayangnya, Rafa harus menelan bulat-bulat harapan itu sebab ia bahkan tidak mengetahui dimana gadis itu berada.

Rafa merasa kehilangan dan kesepian. Meskipun dirinya telah berusaha mengalihkan perhatian dengan melakukan berbagai kesibukan, nyatanya bayangan Freasha tak pernah pergi dari kepalanya. Selalu datang dengan bebasnya. Membuat Rafa merasa frustasi, bahkan terkadang marah pada dirinya sendiri. Ya, tidak seharusnya Rafa merasakan seperti ini mengingat betapa dulu ia begitu membenci gadis itu. Begitu mengharapkan kepergiannya dari kehidupan Rafa.

Rafa meremas kepalanya, lelah dengan pikirannya sendiri. Lelah dengan hatinya. Sekuat apapun pikirannya menyangkal, nyatanya hati pria itu mengharapkan hal lain. Ya, perlahan tetapi pasti Rafa mulai menyadari, ada ruang di dalam sana yang mengharapkan kehadiran Freasha.

====

“Kau tidak pergi bekerja?" Freasha menghampiri Reza yang tengah membaca majalah bisnis di ruang keluarga.

Reza menoleh menatap gadis itu dan menggeleng kemudian. “Tidak”

“Libur? Bukankah ini masih hari kamis?”, Freasha bertanya lagi seraya mengerutkan dahinya.

Reza tersenyum. Ia menutup majalahnya dan meletakkan benda itu di atas meja.

“Hari ini aku sengaja tidak ke kantor. Aku ingin mengajakmu jalan-jalan. Kau mau?”

Freasha terbelalak mendengar penuturan Reza. “Kau tidak takut dipecat?”, tanyanya dengan nada terkejut bercampur khawatir.

“Kurasa tidak ada Ayah yang tega memecat anaknya hanya karena ingin beristirahat satu hari saja”, Reza terkekeh kecil.

Freasha turut tertawa menyesali kebodohannya. Ia nyaris saja lupa bahwa Reza bekerja di perusahaan yang notabene milik keluarganya sendiri.

“Bagaimana? Kau mau?”, tanya Reza lagi.

Freasha tampak berpikir sesaat. Sudah cukup lama dirinya tidak melihat dunia luar. Terakhir kali ia pergi jalan-jalan yaitu sekitar beberapa minggu yang lalu bersama Reza. Ya, Freasha masih mengingat dengan jelas saat itu, sebab pada hari yang sama ia bertengkar dengan Rafa yang menuduh dirinya memiliki hubungan khusus dengan sahabatnya itu. Ah, mengingat Rafa membuat sudut hati Freasha terasa nyeri.

“Frea?”, Reza memanggil menyadarkan Freasha dari lamunan. “Bagaimana?”

Freasha tersenyum lalu mengangguk kemudian. “Baiklah. Aku mau"

"Kalau begitu bersiaplah. Aku akan menunggumu"

Freasha mengangguk. Perlahan ia memutar kursi rodanya kembali ke kamar, hendak mempersiapkan dirinya sebelum pergi dengan Reza.

Setelah menempuh perjalanan selama lebih kurang tiga puluh menit, Reza menghentikan mobilnya pada parkiran sebuah taman. Pria itu memastikan keamanan terlebih dahulu, lalu kemudian bergerak turun dari mobil. Ia mengeluarkan kursi roda Freasha, kemudian mengangkat gadis itu keluar dari dalam mobil dan mendudukkannya disana.

“Terimakasih”, ucap Freasha.

Reza hanya mengangguk, lalu perlahan mulai mendorong kursi roda Freasha menyusuri taman tersebut. Taman yang begitu indah, dihiasi berbagai jenis pepohonan hijau yang membuat udara di sekitarnya terasa begitu segar. Ditengah-tengah taman itu terdapat sebuah danau buatan kecil. Airnya tampak berwarna kehijauan akibat tertimpa bayangan pohon yang berdiri di sekelilingnya.

“Sepertinya aku mengenal taman ini…”, Freasha bergumam pelan. Meski hanya sekedar gumaman, ternyata Reza mampu mendengarnya. Pria itu lantas tersenyum.

“Tentu saja. Apa kau lupa jika dulu sepulang sekolah kita cukup sering bersantai disini?”, tanya Reza.

Freasha mencoba mengingat-ingat, lalu memukul pelan dahinya. “Ah, iya. Bagaimana mungkin aku bisa lupa?”, gadis itu tertawa kecil.

Reza menghentikan kursi roda Freasha tepat di tepi danau. Ia memandang ke sekeliling, mencoba memutar ulang saat-saat bersama Freasha dalam ingatannya. Saat dimana ia pernah nyaris menyatakan isi hati, namun gagal oleh karena kepengecutannya sendiri. Mengingat itu, membuat Reza tersenyum miris. Andai saja dulu dirinya memiliki keberanian sedikit saja, akankah Freasha tetap menikah dengan pria  yang membencinya itu? Akankah Freasha menjadi menderita seperti saat ini?

Desiran angin yang membelai lembut wajahnya terasa seakan menampar hati Reza. Penyesalan karena telah meningalkan dan membiarkan Freasha menikah dengan pria yang salah menghantui benak pria itu. Menyisakan rasa sakit pada sisi hatinya, karena tidak mampu menjaga wanita yang telah menumbuhkan cinta di dalam sana. Perlahan Reza menunduk menatap gadis di hadapannya.

Mata Freasha terpejam. Gadis itu tampak menikmati sapuan angin pada wajah dan helaian rambutnya. Tentu saja pemandangan itu kian menyiksa hati Reza. Memaksanya untuk segera mengutarakan apa yang sejak dahulu tersimpan rapi di dalam hatinya. Ya, Reza sadar dirinya pernah melakukan kesalahan, dan kini di dalam hatinya terselip harapan untuk diberi kesempatan menebus kesalahan itu. Diberi kesempatan untuk menjaga dan merawat Freasha. Mencurahkan rasa cinta yang terlalu lama ia pendam dan membuat gadis itu bahagia berada di sisinya. Apapun alasannya, Reza tidak akan membiarkan Freasha kembali pada pria brengsek itu lagi.

Comments

Popular posts from this blog

Balada Anak Desa – Part 13

Cerita bersambung: Jangan panggil aku tuan muda part 44

Cerita Dewasa: Dibalik Jilbab Nurjanah dan Aisyah