My Perfect Toy : What's Wrong With Him - Part 1


Freasha menggerakkan kursi roda menuju kamarnya. Kata-kata Rafa terasa menyakitkan dan ia butuh melakukan sesuatu untuk melampiaskan rasa sakit itu. Melukis. Ya, kegiatan itu yang biasa dilakukan oleh Freasha untuk meredam rasa marah dan sakit yang selalu menyerang hatinya tiap kali selesai berhadapan dengan Rafa. Pria itu, entahlah. Freasha tidak mengerti apa yang ada di dalam pikirannya. 

Ia selalu bertingkah semaunya. Selalu mengucapkan kata yang menyakiti Freasha. Dan selalu membenci Freasha. Entah sampai kapan ia akan menyimpan rasa itu. Tidak masalah bagi Freasha jika Rafa membencinya. Karena ia tahu, segala yang dialami oleh Rafa, mulai dari kehilangan sang Bunda hingga harus menikah dengan gadis lumpuh seperti dirinya, semua disebabkan oleh Freasha. Wajar jika Rafa marah padanya. 



Tapi bagaimana pun, Freasha hanyalah manusia biasa. Harus sampai kapan ia menahan rasa sakit akibat perlakuan Rafa? Harus berapa dalam luka yang dirasakannya akibat kata-kata yang keluar dari bibir pria itu? Tidakkah dia bisa melihat jika Freasha juga harus menanggung kesakitan serupa? Ia bahkan harus merelakan kedua kakinya. Apakah Rafa menutup mata untuk itu? 



Tidak, Freasha tidak ingin Rafa mengasihaninya. Freasha hanya ingin pria itu bisa menghargai perasaannya. Meski hanya sedikit saja. Meski dirinya penyebab semua. Namun, bukankah Tuhan maha pemilik segala rencana? Freasha yakin semua sudah diatur oleh-Nya. 



Tapi kini, Freasha merasa tidak yakin akan mampu bertahan sampai akhir. Sesuai pesan Ibunda Rafa sebelum menghembuskan napasnya yang terakhir. 
==== 
Rafa mengacak rambutnya dengan gusar. Susah payah ia memejamkan mata, namun tetap tak tertidur juga. Terlebih tubuhnya terasa semakin panas hingga membuatnya gelisah luar biasa. Rafa mendesah pelan. Memutar badannya ke kiri dan ke kanan, berusaha mencari posisi yang nyaman. Namun semua sia-sia, sebab tubuhnya yang seolah terbakar membuatnya tetap terjaga.



Merasa kesal, Rafa bangkit dari pembaringannya. Ia melangkahkan kakinya lebar-lebar keluar dari kamar, menuju ruang kerjanya. Rasa kantuk yang tak kunjung menyerang membuatnya memutuskan untuk mencari kesibukan. Mungkin dengan memeriksa berkas-berkas pekerjaan yang tertinggal dapat membuat pikirannya lelah dan rasa kantuk itu datang. Maka dengan sekali sentakan ia sudah membuka pintu ruang kerja pribadi miliknya dan menghempaskan tubuhnya pada kursi yang ada di sana. 



Menit-menit pertama, Rafa mampu berkonsentrasi. Namun beberapa saat kemudian rasa bosan itu datang lagi. Membuat Rafa mendesah untuk kesekian kali. Rafa merasa jenuh. Dan ia butuh teman untuk mengatasi kejenuhannya. Pikiran Rafa lantas tertuju pada Dany. Tapi tidak, ia tidak mungkin mengganggu Dany sebab saat ini pasti pria itu sedang bekerja. Lalu Rafa harus menghubungi siapa? 



Mendadak benak Rafa melintaskan wajah Freasha. Membuat pria itu terperanjat, bagaimana mungkin Rafa memikirkannya? Rafa membenci Freasha. Ia tidak mungkin mengajak gadis itu berbicara demi menghilangkan kejenuhannya. "Ya tidak mungkin", pikir Rafa. 



Namun lagi-lagi hati Rafa menentang pikirannya. Apa salahnya hanya berbincang sedikit saja? Mereka sudah tinggal cukup lama tapi jarang berbicara. Freasha terlalu larut dalam dunianya, demikian juga Rafa. Atau Rafa yang terlalu menjaga jarak darinya? Ya, sepertinya alasan itu jauh lebih tepat. Rafa memang selalu menghindari Freasha. Selalu menjauhinya seolah gadis itu adalah bakteri berbahaya. Dan sepertinya tidak akan apa-apa jika sekali saja Rafa berbaik hati lebih dulu menyapanya. "Ya, sepertinya tidak akan apa-apa", hati Rafa berbicara. 



Lalu sekejap kemudian Rafa sudah kembali melangkah keluar dari kamarnya. Ia berjalan menuju kamar Freasha. Sesaat ia berdiri mematung di depan pintu berwarna cokelat itu. Berusaha menimbang ulang keputusannya, karena sungguh ia merasa ragu.



Setelah berhasil memantapkan hatinya, tangan Rafa terangkat membuka daun pintunya perlahan. Ia melakukannya dengan mudah karena sang pemilik ternyata tidak mengunci pintu kamarnya. Lantas Rafa berjalan perlahan memasuki kamar itu dan mematung kemudian. 



Gadis itu tengah duduk di atas kursi roda. Ia menghadap lurus pada sebuah kanvas yang Rafa yakini adalah lukisan buatannya. Penasaran, Rafa melangkah semakin mendekat. Anehnya Freasha tampak tenang-tenang saja. Seolah tak menyadari keberadaan Rafa di belakangnya. Membuat Rafa melongokkan wajah dari balik tubuh mungilnya. 



Rafa tersenyum kemudian. Pantas saja Freasha tampak tidak merespon kehadirannya. Gadis itu memejamkan mata. Ia tengah terlelap dalam tidurnya. Rafa berdecak heran, "Bagaimana bisa ia tertidur dengan posisi duduk seperti itu?"

Bersambung ke My Perfect Toy : What's Wrong With Him - Part 2

Comments

Popular posts from this blog

Balada Anak Desa – Part 13

Cerita bersambung: Jangan panggil aku tuan muda part 44

Cerita Dewasa: Dibalik Jilbab Nurjanah dan Aisyah