My Perfect Toy : (Not) Jealous I - Part 1


Freasha menjalankan kursi roda memasuki kamarnya. Kemarahan Rafa telah membuat selera makan Freasha lenyap, terbang entah kemana. Yang diinginkan gadis itu saat ini adalah menyendiri demi menenangkan diri. Seperti yang biasa ia lakukan.

Tatapan Freasha tertuju pada sebuah bingkai foto yang berdiri tegak pada nakas. Perlahan tangannya terulur demi meraih foto itu. Foto pernikahannya. Foto saat Rafa memasangkan cincin pada jari manis Freasha disebelah pembaringan ibundanya, Lina Marhaendra. Dan seketika sebulir kristal lolos dari sudut mata Freasha. Dadanya terasa sesak, penuh akan rasa sakit yang menghujam disana.

Entahlah, sudah berapa kali Freasha menangis. Entah sudah berapa banyak air mata yang harus dikeluarkannya. Susah payah ia bertahan untuk selalu berada di sisi Rafa. Namun semua terasa sama saja. Selalu meyakitkan. Selalu membuatnya merasa jatuh dalam lubang luka yang paling dalam. Di dalam kamarnya, dengan kesendiriannya, Freasha terisak. Bahunya berguncang hebat. Melampiaskan kepedihan dalam hatinya. Meluapkan kesesakan dalam dadanya.

====

Matahari sudah meninggi, namun Rafa sama sekali belum keluar dari kamarnya. Membuat Freasha bertanya, apakah pria itu tidak bekerja? Apakah dia baik-baik saja?

Didorong oleh rasa khawatirnya, Freasha menjalankan kursi roda menuju kamar Rafa demi melihat keadaan pria itu. Freasha mencoba mengetuk pintu bercat hitam itu, namun sama sekali tidak ada jawaban. Ia sudah mencoba memanggil, tapi tidak ada sahutan. Akhirnya Freasha memutuskan untuk membuka pintu kamar Rafa yang ternyata tidak dikunci. Freasha mengerakkan kursi rodanya perlahan mendekati ranjang pria itu.

Mata Rafa terpejam, namun tubuhnya tampak bergetar. Freasha dapat mendengar erangan dari bibirnya. Gadis itu mengerutkan dahi sejenak dan lantas mencoba menyentuh lengan Rafa. Panas. Lalu demi meyakinkan dirinya, Freasha menempelkan punggung telapak tangannya pada dahi pria itu. Kontan ia terkejut saat merasakan panas disana. Rafa demam. Pantas saja pria itu menggigil kedinginan.

Freasha buru-buru memutar dan menjalankan kursi rodanya menuju dapur. Ia mengambil sebuah wadah dan mengisinya dengan air. Tak lupa tangannya meraih sebuah kain dari dalam lemari yang ada disana. Freasha meletakkan semua benda itu pada pahanya, lalu menjalankan kursi rodanya kembali kekamar Rafa. Tanpa mempedulikan air dalam wadah yang sedikit demi sedikit tumpah membasahi roknya. Yang ada dalam pikiran Freasha hanya satu, ia harus merawat Rafa.

Sesampainya di kamar Rafa, Freasha meletakkan peralatan yang telah dibawanya pada nakas disamping tempat tidur pria itu. Perlahan tangannya bergerak mencelupkan kain ke dalam wadah berisi air, memerasnya lalu menempelkannya pada dahi sang suami.

Rafa menggeliat dan kembali mengerang saat merasakan sesuatu yang dingin menyentuh dahinya. Memberikan sedikit kesejukan pada wajahnya yang terasa panas. Perlahan ia membuka mata. Dan membeku saat menatap Freasha di hadapannya.

“Kau...”

“Maaf, aku lancang masuk ke dalam kamarmu”, kata Freasha memotong kalimat Rafa. “Tadi aku hanya ingin membangunkanmu untuk berangkat kerja, tapi saat kuperiksa ternyata kau demam”

Rafa menghela napas sesaat, lalu mengalihkan wajahnya dari Freasha. “Harusnya kau tak perlu melakukan ini”, katanya kemudian. Hampir saja Rafa akan mengangkat kain yang menempel pada dahinya, namun Freasha segera menahan tangannya.

“Jangan. Kalau tidak dikompres nanti akan semakin panas”, kata Freasha. “Istirahatlah. Biarkan kain itu tetap menempel di dahimu. Aku akan ke dapur sebentar, meminta Lucy membuatkan bubur untukmu”

Tanpa Rafa sempat menjawab Freasha sudah memutar kursi roda dan berlalu meninggalkannya. Ia mengawasi Freasha hingga keluar dari kamar bernuansa coklat tersebut. Saat gadis itu telah menghilang, Rafa menghela napas panjang. Bingung dengan hatinya yang akhir-akhir ini terasa aneh jika berdekatan dengan Freasha. Pikirannya selalu ingin menyiksa Freasha. Membuat gadis itu menangis dan menderita. Namun entah mengapa hatinya menolak. Menentang segala rencana dalam kepalanya. Membuat Rafa merasa frustasi, bingung pada dirinya sendiri.

====

Freasha menggerakkan kursi rodanya menuju dapur. Ia menyapu pandangan ke sekeliling berusaha mencari Lucy. Namun gadis itu tak ada disana. Baru saja Freasha akan berseru memanggil pengurus rumah tangganya itu ketika tiba-tiba Lucy muncul di hadapannya.

“Nyonya, ada tamu yang mencari Nyonya”, kata gadis itu.

Alis Freasha bertaut. “Tamu?”, tanyanya dengan bingung.

“Ya, pria yang kemarin datang Nyonya”

Freasha semakin mengetatkan tautan pada alisnya. Benar-benar merasa bingung. Pria yang kemarin datang? Reza kah?

“Ya sudah kalau begitu, aku akan menemuinya”, kata Freasha kemudian. “Tolong kau buatkan bubur untuk Tuan, kalau sudah siap segera antarkan ke kamarnya”

“Baik Nyonya”, Sahut Lucy seraya menganggukkan kepalanya. Dan sedetik kemudian ia sudah berlalu kedapur demi melaksanakan perintah sang majikan.

Sepeninggal Lucy, Freasha segera menjalankan kursi rodanya menuju ruang tamu. Demi menemui pria yang disebutkan oleh gadis itu. Dan senyum di bibir Freasha merekah seketika saat mengetahui siapa yang menjadi tamunya.

“Reza”, sapa Freasha. Pria berkaus putih itu segera menoleh padanya dan tersenyum kemudian. Senyum yang selalu mampu menghangatkan hati Freasha. Ya, berada di dekat Reza selalu membuat Freasha merasa tenang dan nyaman. Pria itu sudah dianggap kakak olehnya.

“Hei, Frea. Apakah aku mengganggumu?”, tanya Reza.

Freasha menggeleng seketika. “Tidak, kok”, Sahutnya kemudian. “Ada apa, Za? Tumben pagi-pagi kemari?”

“Tidak ada, sekedar ingin bertemu saja. Ingin memastikan keadaanmu.”

“Memastikan keadaanku? Maksudmu?”

“Tadi malam aku bermimpi buruk tentangmu, Sha. Aku takut sesuatu terjadi padamu, itu sebabnya aku berpikir untuk memastikannya”, terang Reza. Ia mengamati wajah Freasha dengan tatapan khawatir. Membuat Freasha tidak mampu menahan senyum.

“Ya ampun, Reza. Kau masih tidak berubah. Sangat mempedulikanku”

Reza membalas senyum Freasha. “Itu sudah pasti Sha. Kau satu-satunya wanita yang paling berharga setelah ibuku”, sahutnya kemudian.

Benar, sejak SMA Reza sudah bersahabat dengan Freasha. Ia selalu menemani gadis itu pada masa-masa tersulitnya. Ya, Reza sangat menyayangi sahabatnya itu. Hingga ia terbiasa menjaga Freasha, dan melindunginya.

Bersambung ke My Perfect Toy : (Not) Jealous I - Part 2

Comments

Popular posts from this blog

Balada Anak Desa – Part 13

Cerita bersambung: Jangan panggil aku tuan muda part 44

Cerita Dewasa: Dibalik Jilbab Nurjanah dan Aisyah